Jumat, Oktober 4, 2024

Khazanah Sejarah, Kontroversi Ucapan Selamat Natal

- Advertisement -

KHAZANAH SEJARAH:
KONTROVERSI UCAPAN SELAMAT NATAL(4)
by Ahmad M. Sewang

FATWA MUI DI ERA BUYA HAMKA

BANNIQ.Id.Opini.Saya termasuk pembaca setia majalah Panji Masyarakat (Panjimas) di mana Buya Hamka adalah pemrednya saat fatwa tentang natalan bersama dikeluarkan. Saya ingat rubrik Buya dalam kolom “Dari Hati ke Hati” yang memfatwakan keharaman umat Islam mengikuti upacara sakramen (ritual) Natal. Tapi, kalau sekedar mengucapkan selamat Natal (non-ritual) tidak ada masalah (dibolehkan). Saya pun tidak kesulitan membuka kembali berkas tersebut, sebab sudah berlangganan Panjimas sejak semester pertama, tahun 1973 di Fakultas Adab IAIN Alauddin Makassar dan setiap tahun saya berusaha membundelnya. Sejak berlangganan, saya berusaha melengkapinya dengan terbitan awal sejak tahun 1959. Alhamdulillah saya bisa mengumpulkannya dan semua saya sudah bundel. Sekarang majalah Panjimas tersimpan rapih pada perpustakaan pribadi saya dan memudahkan untuk menemukan semua peristiwa yang terjadi dalam kurun waktu antara tahun 1959 sampai tahun 1989. Saya berakhir berlangganan majalah tersebut karena kesibukan kuliah di PPs IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan juga mulai fokus pada persiapan untuk riset disertasi ke luar negeri di Leiden University.

Pada dasarnya fatwa MUI di bawah kepemimpinan Buya Hamka sama dengan fatwa ulama khalaf bahwa yang tidak boleh adalah mengikuti perayaan yang bersifat sekramen atau peribadatan. Fatwa Buya Hamka bersumber dari keprihatinan dalam menyaksikan para pejabat muslim yang ikut serta pada upacara sakramen yang beliau lihat sudah menyimpang jauh kepada kemusyrikan. Sebagai Ketua Umum MUI beliau ingin memagari akidah umat, maka dikeluarkanlah fatwa MUI. Saat itu sedang terjadi euforia para pejabat ikut merayakan Natal bersama. Tidak heran, Menteri Agama, Alamsyah Ratu Prawiranegara, meminta pada Buya untuk menarik peredaran fatwa itu. Justru Buya Hamka sebagai Ketua Umum MUI yang merasa bertanggung jawab menjaga akidah umat, lebih memilih mengundurkan diri dari jabatannya ketimbang mencabut Fatwa haramnya mengikuti perayaan Natal bersama, “Sayalah yang bertanggungjawab atas beredarnya fatwa tersebut, jadi sayalah yang mesti berhenti,” kata Hamka di Harian Pelita.

Pada rubrik “Hati ke Hati” di Majalah Panjimas edisi 324/1981, Buya Hamka menulis artikel berjudul “Bisakah Suatu Fatwa Dicabut?” Almarhum mencurahkan suara hatinya yang terdalam tentang makna kerukunan umat beragama yang cenderung menyimpang. Jauh sebelumnya masyarakat sudah mengenal Buya Hamka, di akhir tahun 1950-an sudah terang-terangan menentang apa yang dinamakan Sekulerisme, Liberalisme, Kristenisasi bahkan Komunisme-Atheist. Buya Hamka sangat peduli untuk memagari akidah dan keyakinan umat Islam. Dalam curhatnya berjudul “Toleransi, Sekulerisme atau Sinkretisme,” Buya Hamka menyebut tradisi perayaan Hari Besar Agama Bersama, bukannya menyuburkan Kerukunan Umat beragama atau tasamuh (toleransi), tetapi menyuburkan kemunafikan dan kemusyrikan.

Apa hukumnya jika mengucapkan Selamat Natal? Di atas sudah dijawab Buya. Tetapi diperjelas kembali cucu kandung Buya Hamka, Naila Fauzia, yang lebih paham mengenai kehidupan Buya. Mari kita ikuti penjelasannya: “Sejak dunia media sosial menggantikan cara kita berkomunikasi dan bersilaturahmi sehari-hari, setiap menjelang Natal, saya kerap mendapatkan pertanyaan yang sama dari beberapa teman-teman, Apakah benar Buya Hamka mengeluarkan fatwa mengharamkan memberi ucapan Selamat Natal?

Selama itu pula saya selalu harus meluruskan pendapat yang beredar tersebut, hingga akhirnya, salah seorang kakak sepupu mengusulkan agar saya membuat tulisan ini. Saat Buya Hamka menjadi Ketua MUI, beliau berbeda dengan Menteri Agama saat itu, dikarenakan sang Menteri yang beragama Islam ikut merayakan Natal bersama-sama saudara-saudara Nasrani di gereja, meliputi kegiatan menyalakan lilin bersama, ikut misa dan bernyanyi bersama, yang memang merupakan tata cara beribadah umat Nasrani.

Peristiwa semacam itulah yang melatarbelakangi, Buya Hamka mengeluarka fatwa bahwa haram bagi umat Islam untuk mengikuti Natalan bersama. Saya jelaskan lagi di sini bahwa yang haram itu, “MENGIKUTI NATAL BERSAMA”, seperti ikut ke gereja, ikut berdoa, bernyanyi, menyalakan lilin dan mengikuti misa. Karena Mentri Agama menekan Buya Hamka untuk menarik fatwa tersebut, maka Buya memilih untuk mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Ketua MUI pada 19 Mei 1981.

Jadi, Buya sama sekali tidak pernah mengeluarkan fatwa bahwa haram hukumnya untuk mengucapkan selamat Natal. Saat Buya Hamka tinggal di Jl. Raden Patah Kebayoran Baru, tetangga-tetangga beliau kebanyakan beragama Nasrani dan setiap Natalan, nenek (andung) saya, rutin memasak rendang dan oleh Ibu saya, paman, dan bibi saya, makanan itu dikemas untuk para tetangga yang merayakan Natal, lalu diantar ke rumah mereka masing-masing dan sekalian untuk memberikan ucapan Selamat Merayakan Natal.

Jadi, dengan adanya penjelasan ini, mohon agar tidak ada lagi pencatutan nama Buya Hamka yang mengeluarkan fatwa haram untuk mengucapkan selamat Natal. Kita semua bersaudara. Jagalah keberagaman kita dan junjung tinggi kedamaian. Indonesiaku satu,” demikian Naila Fauzia mengakhiri penjelasannya

Salam,
Naila Fauzia (a.n. Keluarga Besar Buya  Hamka). Wallahu ‘Alam bi sawab.

Sekali lagi, saya mohon agar penjelasan cucu Buya dihormati dan tidak lagi terjadi pemelintiran yang dinisbahkan pada almarhum Buya Hamka.

Wasalam,
Makassar, 27 Desember 2021

BERITA TERKAIT

Berita Populer

Komentar Pembaca

error: