BANNIQ.Id.Jakarta.Negara Harus Akui Kekerasan terhadap Perempuan Meningkat selama masa Pandemi COVID-19, menyikapi hal tersebut Institut KAPAL Perempuan (IKP) gelar Diskusi Bertajuk “Isu-Isu Gender dalam Masa Pandemi COVID-19”,di Jakarta, 2 Desember 2020.
Dari banyak masalah yang dihadapi negara pada masa Pandemi COVID-19, yang terpenting juga ada pengakuan bahwa kekerasan terhadap perempuan pada masa pandemi COVID 19 meningkat. Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19, dr Reisa Broto Asmoro, telah mengatakan bahwa angka kekerasan terhadap perempuan meningkat 75 % pada masa pandemi COVID 19. Begitu juga kalau lihat data kekerasan terhadap perempuan yang dikeluarkan oleh SIMFONI-PPA, Komnas Perempuan dan LBH Apik. Semuanya memperlihatkan ada kenaikan angka kekerasan terhadap perempuan dalam kurun waktu Februari hingga sekarang.
Demikian disampaikan oleh Budhis Utami, salah satu narasumber, yang merupakan Wakil Direktur Institut KAPAL Perempuan, dalam acara “Diskusi Bersama Institut KAPAL Perempuan” yang diselenggarakan pada hari Rabu, 2 Desember 2020, melalui daring.
Diskusi yang mengangkat topik “Isu-isu Gender dalam Masa Pandemi COVID-19” ini dihadiri oleh Staf Khusus Bupati Lombok Timur, Kepala Desa Perempuan, organisasi masyarakat sipil,perempuan pemimpin dari akar rumput, dan tokoh agama.
Sejauhmana pemerintah telah memberikan perhatian pada isu kekerasan terhadap perempuan yang beresiko meningkat selama masa pandemi COVID-19, Hamong Santono, sebagai salah satu narasumber diskusi ini juga mempertanyakan bagaimana situasi perempuan pada masa Pandemi ini yang menurutnya memang memberikan pengaruh dan perubahan secara sosial budaya.
Hamong menyebutkan bahwa setidaknya ada empat 4 pengaruh COVID-19 yang juga merupakan tren global yaitu dalam hal teknologi, lingkungan, perubahan power, dan demografi. Dalam hal teknologi misalnya, ia melihat ada kemudahan berinteraksi tapi di sisi lain terjadi perubahan dalam model bekerja. Dalam konteks itu, bagaimana situasi perempuan pekerja?, katanya.
Lalu, bagaimana negara merespon perubahan ini? ada tiga skenario yang mungkin terjadi yaitu apakah negara akan semakin tidak memiliki harapan; atau negara mampu mengembalikan kondisi seperti sebelumnya, atau apakah negara justru mampu menjadikan pandemi ini sebagai stimulus untuk hidup yang lebih baik ke depan. Yang terakhir ini disebutnya sebagai “Good Scenario”.
Lanjutnya, dengan apa yang dilakukan pemerintah saat ini yaitu meningkatkan layanan dan perlindungan sosial, ada harapan Indonesia tetap mempertahankan dirinya menjadi “negara baik”. Negara baik, menurutnya adalah negara yang bekerja tidak hanya saat pasar gagal, negara yang di tengah keterbatasan itu tetap mampu mempertahankan ketersediaan dananya sekaligus memberikan kualitas layanan dasar yang baik.
Misiyah, Direktur Institut KAPAL Perempuan, dalam diskusi ini juga mengatakan bahwa diskusi ini merupakan cikal bakal untuk memikirkan bagaimana menciptakan “negara baik” tersebut untuk 10 tahun ke depan tahun mulai dari desa hingga global. Perlindungan sosial oleh negara bukan sesuatu yang tiba-tiba dan sesaat tapi sebuah perlindungan sosial yang punya perpektif gender, transformatif sekaligus bersifat permanen, mau ada bencana atau tidak.
Lanjutnya, diskusi ini bertujuan untuk memperkuat perspektif dan pemahaman bersama tentang situasi perempuan pada masa pandemi COVID-19 agar semua orang ikut mengkampanyekan tentang resiko meningkatnya kekerasan terhadap perempuan selama masa Pandemi COVID-19.
Dalam upaya itu, KAPAL Perempuan saat ini mengembangkan kegiatan-kegiatan untuk memastikan perempuan korban kekerasan tetap mendapatkan perlindungan dan layanan, baik perlindungan dari ancaman kekerasan maupun layanan-layanan pengaduan.
Selain itu, perempuan korban kekerasan juga dikuatkan kesadarannya untuk melapor dan berani untuk bicara. “Selama ini kami mengembangkan pos pengaduan di tingkat desa bersama organisasi mitra dan Sekolah Perempuan. Saat ini akan mengintegrasikan pendekatan pengaduan online dan menjangkau kasus dengan menggunakan sandi khusus untuk para perempuan korban kekerasan yang ingin melapor. Upaya ini diintegrasikan dengan menguatkan para perempuan korban melalui pemberdayaan ekonomi”, lanjut Misiyah.
Misiyah megatakan, khusus kegiatan yang dikembangkan di Lombok Timur, Makassar, Jakarta dan Bogor ini adalah program kolaborasi ACTION (Active Citizens Building Solidarity and Resilience in Response to COVID- 19). Program yang didukung oleh Uni Eropa ini dilakukan oleh HIVOS bersama lima anggota konsorsium yakni CISDI, KAPAL Perempuan, PAMFLET, PUPUK, dan SAPDA. Sementara respons Covid-19 melalui pemberdayaan ekonomi di Jember, Kupang, Takallar merupakan kegiatan respons Covid-19 yang dikumpulkan dari dana publik atas bantuan Move92.
Pengembangan inisiatif program ini dimaksudkan untuk meningkatkan partisipasi organisasi masyarakat sipil dalam mencegah, menanggulangi, serta memitigasi risiko dan kerentanan yang ditimbulkan oleh krisis COVID-19 dan untuk memastikan bahwa kelompok rentan dan terpinggirkan di Indonesia memiliki akses yang sama dalam program pemulihan sosial dan ekonomi akibat pandemi.(*)