Tafsir Esoterik Tentang Lailatul Qadar

Facebook
WhatsApp
Twitter

Tafsir Esoterik Tentang Lailatul Qadar

Oleh : Muhsin Mahfudz
(Dosen UIN Alauddin Makassar dan
Pembina Pondok Pesantren DDI AlIhsan Kanang)

Sepuluh malam terakhir dari Bulan Ramadan selalu identik dengan malam pembebasan dari Neraka. Malam itu mereka yang berpuasa meningkatkan kuantitas dan kualitas ibadah-ibadah sunnah. Semakin larut malam para shaimun terus berselancar menembus senyapnya malam untuk menjemput Lailatul Qadar, malam yang disebut al-Qur’an lebih baik dari 80 tahun, 4 bulan lamanya beribadah.

Sebetulnya, 1 malam beribadah pada lailatul qadar tidak sama dengan 80,4 tahun karena di dalam QS. al-Qadr/97:3 Allah menyertakan kata khairun yang bermakna lebih baik secara kualitas, bukan kuantitas. Sehingga ayat tersebut tidak tepat dipahami secara matematis. Jika memuliaan lailatul qadar dipahami secara kualitas maka harus dipahami pula bahwa variabel perusak terhadap kemuliaannya juga tidak akan terukur karena sangat personal, hanya Allah yang mampu menilainya. Karena itu, biarlah Allah yang membalasnya dengan kemaha-bijaksanaan dan kemaha-adilan-Nya.

Umumnya ulama sepakat bahwa menilai kemuliaan lailatul qadari adalah otoritas Allah swt. tetapi ulama, termasuk ulama tafsir, selalu berusaha menyingkap misteri apakah sebetulnya lailatul qadar itu?. Syekh al-Akbar, Muhyiddin Ibn ‘Arabi (w. 628 H) menguraikannya secara esoteris. Di dalam kitabnya, Tafsir Ibni ‘Arabi, Syekh al-Akbar menjelaskan bahwa lailatul qadar itu adalah al-bunyah al-muhammadiyah (atmosfir Muhammad). Kata al-Muhammadiyah bukan Nabi Muhammad tetapi adalah blue print penciptaan manusia yang dalam kajian teosofinya disebut Nur Muhammad. Meskipun begitu, kaitannya dengan lailatul qadar atmosfir Muhammad dipahami oleh Ibnu ‘Arabi sebagai keadaan yang diliputi oleh aura cahaya kemuliaan Nabi Muhammad saw.

Atmosfir Muhammad adalah keadaan di mana manifestasi kemuliaan Nabi Muhammad saw. hadir secara spiritual, karena mustahil al-Qur’an turun pada atmosfir yang tidak siap menerima kalam ilahi. Pada malam-malam sepuluh terakhir Ramadan, lailatul qadar atau atmosfir Muhammad akan hadir kembali secara spiritual ketika penduduk bumi, para shaimun dengan amaliah ibadah yang dilaksanakan mampu menciptakan ruang yang siap diliputi cahaya Muhammad. Maka, mereka yang beribadah di dalam atmosfir Muhammad yang spiritual itu akan memperoleh kemuliaan lailatul qadar.

Kemudian, kalimat alfi syahr (seribu bulan) dalam QS. al-Qadr/97:3, dimaknai oleh Ibnu ‘Arabi sebagai hari-hari yang dipenuhi oleh peristwa, seperti dalam QS. Ibarhim/:5 (…wa dzakkirhum bi ayyamillah…). Atas dasar inilah Ibnu ‘Arabi menganalogikan bahwa setiap ka’in (benda) adalah yaum (hari) itu sendiri. Jika setiap yang benda itu hari, maka setiap nau’ (spesis) itu adalah syahr (bulan) dan jika spesis itu bulan maka jins (jenis) itu adalah tahun. Maka kalimat “seribu tahun” merupakan bilangan tertinggi yang mencakup seluruh yang wujud di alam raya ini. Tidak ada lagi bilangan di atas kata “ribuan” kecuali hanya pengulangan, seperti sepuluh ribu, seratus ribu dan seterusnya. Maknanya, bahwa jika seorang yang berpuasa memperoleh kemuliaan lailatul qadar maka dirinya sendiri lebih muliah dari seluruh spesis makhluk yang ada di jagad raya ini.

Kemudian, Ibnu ‘Arabi menjelaskan ayat ke-4, mengapa lailatul qadar itu disebut mulia atau lebih baik (khair), karena di malam itu turun semua kekuatan ruhani dan nafsu (ruhaniah wa nafsaniah) bahkan seluruh malaikat yang ada dilangit dan di bumi hadir menyatu dengan alam dan para sha’imun memperoleh kemuliaan di dalam atmosfir kemuliaan Muhammad.

Kita yang belum dapat berkontribusi dalam menciptakan atmosfir kemuliaan Muhammad karena rendahnya kualitas ibadah puasa kita, semoga diliputi kemuliaan itu menghampiri berkat ibadah para ulama, para wali dan orang-orang yang saleh selama bulan Ramadan yang penuh berkah dan ampunan ini. Walahu a’lam bi al-shawab.(*)

Berita Lainnya