Catatan Mini Kebudayaan
KASUR TUA WS RENDRA
Oleh : Rahmat Muchtar(Pegiat/Pemerhati
Seni Budaya Tinggal di Tinambung)
BANNIQ.Id.Opini.| Budayawan W.S. Rendra dengan urakannya pernah beropini bahwa “kebudayaan Jawa adalah kebudayaan kasur tua”. Sontak membuat publik terperangah atas pernyataan yang dirasa aneh dan unik masa itu, dimana kita ketahui puncak-puncak kebudayaan Jawa fenomenal : wayang, candi, sastra, dan lain-lain begitu kaya, tinggi dan luhur yang sangat diapresiasi serta dijaga oleh pewaris kebudayaannya, malah disebut sebagai kasur tua yang butuh diperkembangkan.
Ya, tentu yang dimaksud Rendra adalah kebudayaan daerah/tradisional yang sudah turun temurun berkembang selama ini di masyarakat. Suatu kebudayaan yang sudah lama ditempa proses asimilasi dari berbagai penjuru dan perkembangan dinamisme kehidupan manusia, yang pada waktu tertentu membentuk identitas dan karakter tersendiri bagi Jawa serta budaya daerah lainnya. Ia merupakan media hidup yang digerakkan kesadaran kolektif manusia kreatif guna melayani manusia dan kehidupan. Tidak beku (dibekukan) apalagi bersifat absolut.
Beliau mendapati kebudayaan Jawa/daerah yang oleh masyarakatnya diperlakukan sebagai kasur tua untuk tidur panen mimpi saja, meski kapuknya sudah tidak empuk, keras dan tidak nyaman lagi untuk alas istirahat menyemai mimpi kebudayaan yang kreatif terhadap kondisi mutakhir. Sebagai kasur tua, bahkan sangat rentang menjadi sarang kutu kasur bila tak rajin menjemur dan membersihkannya, seperti itu pulalah kebudayaan warisan tradisi.
Kicauan si burung merak, tidak polos plong kita mendengarnya dengan kuping merah. Dibalik opini itu nampak dengan cermat nalar mempertimbangkan pemajuan kebudayaan yang memang secara alami dan nyata mengalami gradasi atau bahkan degradasi. Meskipun Rendra mewakili kebudayaan Jawa, hal demikian secara fakta berlaku pula pada kebudayaan daerah di seluruh kawasan Indonesia.
Contoh kebudayaan kita di Sulawesi Barat, dimana perkembangan kreatif transportasi laut nelayan Mandar dari pakur, olang mesa sampai yang legend dikenal lopi sandeq, dari masa ke masa mengalami perubahan (gradasi) baik secara bentuk/ukuran bodi, layar sampai pada teknologi mesin, bahkan telah mengalami kemerosotan (degradasi) populasi oleh fungsi serta kebijakan pelestarian atawa perkembangan. Baik oleh efektifitas tuntutan teknologi dan area parkiran sandeq yang katanya sudah diambil alih oleh tanggul.
Puluhan tahun ke depan bisa saja terjadi dimana sandeq hanya dapat kita saksikan di buku-buku bergambar serta ikon logo Sulbar (apalagi event sandeq race sudah tidak pernah lagi dihelat sebagai salah satu gerakan pelestari). Belum lagi sisi bahasa, arsitektur rumah tradisional, kesenian dan budaya yang tersebar di Mamasa sampai Pasangkayu, pakkacaping, sayang-sayang dan parrawana yang tidak ramai lagi ditanggap. Inilah dilema bagi identitas kebudayaan. Namun khusus parrawana, untung saja masih ada tradisi totamma saat bulan maulid sebagai paket pelestari yang menghadirkan sayyang pattuqduq dan kalindaqdaq (sastra Mandar).
Hemat saya, sugesti dan majas kritik kebudayaan kasur tua Rendra tersebut juga sebagai rangsangan bagi para pelaku budaya, masyarakat dan kekuasaan agar pembangunan kebudayaan kita kini dan ke depan tidak melulu mengandalkan hasil lama kebudayaan yang telah diwariskan dan diidentitaskan. Tidak pula membekukan saja dalam museum namun dibutuhkan sentuhan, transformasi, pemilahan orisinalitas yang jelas atawa karya-karya pembaharuan, eksplorasi/eksperimen serta inovasi yang dapat memberikan nuansa baru berdialektika dengan zamannya.
Demikian halnya salah satu poin hasil rumusan/simpulan seminar kebudayaan Mandar 1984 terkhusus pada aspek kesenian, tertulis : Tanpa kreatifitas baru kesenian Mandar akan menuju kepunahannya sendiri. Dengan hanya membanggakan karya-karya kesenian masa lampau, generasi masa kini hanya akan menjadi “parasit kebudayaan”, dan tidak akan pernah menjadi generator perkembangan budaya masyarakatnya.
By. Rahmat Muchtar
6 maret 2022