BANNIQ.Id.Sulbar.Hari Kamis, 26/9/2019, sejumlah elemen mahasiswa dari semua kampus di Mamuju dan sejumlah OKP, serta AJI Biro Mamuju melaksanakan aksi yang tergabung dalam aliansi “Sulbar Bergerak” mengusung tema “Menegakkan Demokrasi Rakyat menuju Keadilan Sosial”.
Secara umum aksi ini sendiri terkait penolakan revisi UU KPK dan mendorong untuk dibatalkan dengan Perpu, kemudian menolak pembahasan RUU KUHP, RUU Pemasyarakatan, RUU Penyadapan, RUU Minerba, RUU Pertanahan, RUU Air, RUU Pertanian, RUU Ketenagakerjaan, meminta kepolisian menindak tegas dan menangkap para pelaku kekerasan terhadap jurnalis dan pengunjukrasa, tangkap dan adili koorporasi yang meminta melakukan pembakaran hutan, menolak tindakan militerisme di Papua, serta meminta Pemprov Sulbar dalam penganggaran lebih berpihak pada rakyat secara riil dan meminta bertanggungjawab terhadap nasib petani sawit dan nasib GTT-PTT yang belum dibayarkan.
Aksi yang diikuti kurang lebih seribuan orang, dengan titik aksinya di gedung DPRD Sulbar yang didalamnya bersamaan dengan pelantikan DPRD masa jabatan 2019-2024. Namun, dalam prosesnya sejumlah insiden saling dorong terjadi karena massa memaksa untuk masuk. Setelah negosiasi dan menemui kesepakatan dengan Kapolres Mamuju, Muhammad Arvan Rivai mengizinkan pengunjukrasa masuk sampai halaman gedung DPRD, tersebut juga dilakukan agar massa bisa berteduh dan tidak menimbulkan kegaduhan.
Tapi kejadian yang sangat disayangkan terjadi, ketika massa aksi yang ada di depan pintu halaman DPRD telah mendapat izinkan untuk masuk, dan massa yang menumpuk di depan kantor Gubernur yang bersebelahan dengan DPRD coba ikut masuk, malah dihadang oleh pasukan huru-hara (PHH) Brimob Polda Sulbar, dan menembakkan gas air mata pada kekerumunan massa. Sehingga bentrokan pun terjadi.
Atas kejadian itu, kami dari AJI Biro Mamuju bagian dari massa aksi, kecewa dengan sikap kepolisian yang memukul mundur massa aksi damai dengan gas air mata. Saya pun dengan spontan berlari turun pada massa yang dihadang, kemudian menyampaikan kepada kepolisian karena ingkar untuk mengawal aksi kami dengan damai, dengan kecewa saya pun sempat mendorong tameng yang digunakan untuk dibuka dan dibiarkan massa masuk sebab telah mendapat izin. Saat saya coba merentangkan tangan sambil meminta peserta aksi tidak terprovokasi, pukulan tongkat rotan PHH Brimob Polda Sulbar melayang dikepala saya. Pastinya rasa sakit dan sempat linglung membuat saya tidak berdaya hingga diselamatkan sejumlah massa aksi yang sudah tidak saya kenali karena pandangan mulai gelap, yang kemudian beberapa saat saya kembali sadar dan bisa mengendalikan diri.
Pada kesempatan ini, saya menegaskan terkait tindak kekerasan yang saya alami bukan sebagai jurnalis aktif yang sedang dalam tugas jurnalistik, sehingga tidak bisa masuk dalam ranah UU Pers No. 40 Tahun 1999, tapi sebagai jurnalis yang tergabung dalam organisasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) secara khusus AJI Biro Mamuju, secara kelembagaan yang posisinya sama dengan massa aksi yang lain.
Namun itu, pemukulan yang terjadi adalah sebuah tindakan represif terhadap massa aksi. Sehingga mendesak Polda Sulbar menindak anggotanya yang melakukan kekerasan terhadap pengunjukrasa. Kemudian kami berharap kepolisian lebih profesional dalam menangani massa aksi tidak anarkis dan memprovokasi situasi.
Dengan ini kami juga sampaikan, keterlibatan AJI Biro Mamuju dalam gerakan menolak revisi UU KPK karena mendukung gerakan pemberantasan korupsi, yang tak hanya menjadi kewajiban bagi warga negara, tapi juga karena menjadi mandat organisasi.
Pasal 10 AD AJI dengan jelas menyatakan bahwa salah satu mandat organisasi ini adalah ikut “terlibat dalam pemberantasan korupsi, ketidakadilan, dan kemiskinan.”
Harmat saya
Anhar (Ketua AJI Biro Mamuju)