Senin, November 25, 2024

Khazanah Sejarah, Perkembangan Pemikiran Manusia Dari Animisme Menuju Monoteisme

- Advertisement -
Ilustrasi Penganut Kepercayaan Animisme

KHAZANAH SEJARAH:
PERKEMBANGAN PEMIKIRAN MANUSIA DARI ANIMISME MENUJU MONOTOISME
Oleh : Ahmad M. Sewang (Guru Besar Peradaban Islam UIN Alauddin Makassar)

Perkembangan pemikiran manusia dari animisme ke monoteisme melewati sebuah tahapan dari mite menuju fakta. Di bawah ini dikemukakan beberapa contoh tentang ke dua bentuk pemikiran itu:

a. Di Tanjung Rangas? Sulawesi Barat, yang menjadi tempat lalu transfortasi laut dari Timur ke Barat atau dari Sulawesi Barat bagian Timur ke Ibu Kota Sulawesi Barat, Mamuju, atau ke Kalimantan dan sebaliknya, di sana sering terjadi gelombang perputaran arus deras. Menurut kepercayaan masyarakat, perputaran arus yang sering menenggelamkan perahu, disebabkan karena penjaga laut marah. Untuk meredam kemarahannya, maka masyarakat harus mempersembahkan sesajen berupa telur atau ayam yang dibuang ke dalam laut. Ternyata setelah masyarakat memasuki era kemajuan ilmu pengatahuan, kecardasan mereka tentang alam semakin maju, maka ditemukanlah bahwa perputaran arus yang menyebabkan munculnya gelombang tinggi yang tidak menentu disebabkan karena di tanjung yang tanahnya menonjol jauh ke luar itu menjadi tempat pertemuan arus air laut yang keras dari dua arah yang berbeda: barat dan timur. Pertemuan itulah yang menjadi penyebab terjadinya gelombang perputaran arus.

b. Dalam pertemuan dengan Drs. Lamondo di Kendari sekitar tahun 2007, ia menceritakan kejadian di lingkungan perumahan tempat tinggalnya. Penduduk di sana selalu melaksanakan kenduri setiap terjadi kemacetan air yang dialirkan lewat pipa, kenduri dimaksudkan untuk membujuk penjaganya yang menghambat aliran air itu. Di belakang diketahui dari seorang ahli dari pegawai PAM bahwa setiap pipa tersebut di dalamnya terisi udara yang menyumbat aliran air. Karena itu disarankan agar pipa-pipa tersebut dibuka untuk mengeluarkan sumbatan udara yang jadi penghambat. Akhirnya, pipa-pipa itu dibuka setiap 100 meter mulai dari hulu sampai ke hilir untuk mengeluarkan udara penghambat yang ada di dalamnya. Setelah saran itu dilakukan, maka air pun mengalir kembali dengan deras. Cuma yang disesalkan oleh sebagian penghuni adalah tidak lagi menikmati makanan kenduri.

c. Ketika masih belia, umur 10 tahun, atau sekitar awal tahun 1960-an. Di kampung saya, Pambusuang terjadi peristiwa yang banyak menelan korban. Setiap hari, ada saja warga yang meninggal dunia yang didahului sakit perut. Para sesepuh yang menjadi figur sentral masyarakat tidak tinggal diam.

Ia menjalankan fungsinya sebagai pengayom masyarakat dengan mencarikan jalan keluar dari musibah yang menimpah umatnya. Disepakatilah oleh mereka untuk berkumpul di Masjid Jami’ sebagai tempat start untuk keliling kampung di malam hari setelah salat Isa. Malam itu sebagian warga ikut serta berpartisipasi. Saya yang masih belia juga ikut serta dan menjadi saksi sejarah. Kami keliling kampung mengumandangkan azan. Di antara mereka ada yang membawa lampu strongking, ada juga yang membawa trompet besar yang dibuat dari seng yang digunakan para sesepuh untuk azan. Mereka keliling kampung mengumandangkan azan dimaksudkan untuk mengusir setan yang ditengarai penyebab malapetaka yang banyak membawa korban.

Masa itu, selalu terbayang dalam pikiranku yang masih sederhana bahwa ketika azan diarahkan persis ke kuburan maka setan pasti akan lari pontang panting. Tetapi, ternyata besoknya semakin banyak warga yang meningal dunia. Di kemudian hari barulah diketahui bahwa penyebab banyak warga meninggal dunia adalah karena waktu itu sedang mewabah penyakit pest. Penyakit itu, bukan hanya mewabah di kampung saya, juga seluruh Sulawesi Selatan dan Barat.

d. Ketika masih studi di PPs Jakarta, saya rajin menseponsori teman-teman mahasiswa mengikti kajian bulanan Paramadina di Hotel Kartika. Saya berpendapat inilah kajian paling bebas dan spektakuler, karena diikuti aneka paham dan aliran. Bahkan di sana saya bertemu Victor Tanja, seorang pe Kristeani yang menulis disertasi tentang HMI.

Saya juga bertemu Purnomo Sidi, menteri PU di era Soeharto. Saya tertarik pada ulasannya yang disampaikan di Kajian itu, menurut Purnomo, Ketika pendopo keraton Jokyakarta harus direhabilitasi akibat kebakaran. Seorang sesepuh keraton berpesan, “Keraton baru bisa direhabilitasi jika paku yang digunakan sebesar ibu jari penguasa negeri ini, artinya paku sebesar ibu jari Soeharto sebagai presiden. Purnomo Sidi memang dapat perintah dari presiden untuk merehabilitasinya, menurut Purnomo pada kajian itu, “Jika saya mengikuti keinginan sesepuh keraton, maka pembangunan keraton tidak akan kuat dan sempurna karena bertentangan dengan ilmu yang saya dapatkan sekaligus bertentangan dengan Tauhid.”

Beberapa peristiwa di atas mengambarkan bagaimana perkembanga pemikiran manusia terhadap mite ke fakta. Semakin maju sebuah peradaban akan mengantar masyarakat kepada tauhid. Ternyata pula bahwa semangat tauhid itu sejalan dengan temuan ilmu pengetahuan. Pikiran semacam inilah yang disebut oleh Nurcholish Madjd dengan desakralisasi.

Artinya, masyarakat tidak perlu mensyakralkan hal-hal yang memang tidak sakral dan tidak menggaibkan yang memang tidak gaib. Satu-satunya yang paling gaib adalah Allah swt. Inilah semangat tauhid sebagai semangat yang paling sesuai dengan kemajuan peradaban manusia. Sekali lagi, inilah yang disebut filsafat لااله الا الله. Bahwa tidak ada yang bisa dipertuhankan kecuali Allah swt.

Wasalam,
Makassar, 28 Maret 2022

BERITA TERKAIT

Berita Populer

Komentar Pembaca

error: