Selasa, November 26, 2024

Khazanah Sejarah: Tahapan Perkembangan Pemikiran Terhadap Agama

- Advertisement -

KHAZANAH SEJARAH:
TAHAPAN PERKEMBANGAN PEMIKIRAN TERHADAP AGAMA (1)
Oleh Ahmad M. Sewang (Guru Besar Peradaban Islam UIN Alauddin Makassar)

Pada tahun 1980, sebuah pengajian paling beken di kota Makassar bernama Pengajian Aqsha. Disebut pengajian Aqsha karena bertempat di Masjid Aqsha, jalan Maipa, dekat pantai Losari. Pengajian ini disponsori oleh para dokter, seperti dr. M.N. Anwar, SKM, dr. Amiruddin Aliah, dr. Halim Mubin, dr. Lawang. Mereka adalah generasi mujahid yang ingin berkorban dengan ikhlas. Sebagai pengurus di masjid tersebut, saya ikut bergabung bersama Husni Djamaluddin, Karaeng Masalle dan Karaeng Mosseng, serta teman lainnya.

Pengajian ini menjadi sangat populer karena semua penceramah atau ilmuwan dari IAIN, IKIP, dan UNHAS pernah jadi nara sumber di pegajian ini. Lebih populer lagi setelah mengundang penceramah dari Jakarta, seperti Prof. Dr. Hamka, Prof. Dr. Nurcholish Madjid, Prof. Dr. Harun Nasution bahkan seorang perwakilan dari Universitas Leiden Asia Tenggara, sekaligus menjabat Direktur Ilmu-ilmu Sosial Unhas, Prof. Dr. Jacob Vredenbregt pernah di undang memberi ceramah.

Beliau kebetulan masuk Islam di Makassar. Sayang sekali, hampir semua aktivis Aqsha di atas sudah di panggil Yang Maha Kuasa. Mungkin tinggal yang masih hidup Prof. Dr. dr. H. Amiruddin Aliah dan saya.

Kesempatan ini, saya hanya akan kemukakan salah satu isi pengajian yang dibawakan oleh Prof. Dr. Jacob Vredenbregt karena sejalan dengan judul seri ini. Boleh dikata hampir saya hapal materi ceramahnya, sebab saya diamanahi sebagai sekretaris harian. Prof. Vredenbergt memulai kajiannya dengan berkata bidang spesialisasi saya adalah antropologi. Sebagai seorang antropolog hampir semua kitab suci saya telah telaah, mulai Taurat, Injil, Zabur, kitab suci Budha dan Hindu. Namun setelah saya menelaah Alquran, maka di sanalah saya menemukan ajaran monoteisme murni. Hal ini dapat dibaca pada QS Al-Ikhlas ayat 1-4.
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ
Katakanlah: “Dialah Allah, Yang Maha Esa.
اللَّهُ الصَّمَدُ
Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.
لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ
Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan,
وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ
dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia”. Setelah membaca surat pendek ini dan mulai saat itu hati saya terbuka dan menjadikan “Islam sebagai way if life.” Inilah penjelasan singkat Prof. Vrendenbregt sebagai seorang antropolog. Menurut beliau monoteisme adalah perkembangan terakhir pemikiran manusia terhadap agama. Islam bukanlah agama evolusi, tetapi dapat menerima teori ini.

Setelah belajar banyak kitab suci Alquran, maka di sana juga memang saya mendapatkan pandangan bahwa terakhir evolusi pemikiran manusia terhadap agama adalah monoteism, namun saya juga mendapatkan penjelasan tambahan seperti yang dimuat pada catatan Kaki saya kemarin bahwa sekalipun yakin akan kebenaran sesembahan dalam Alquran, tidak berarti bisa seenaknya memaki sesembahan agama lain. Itulah yang saya temukan dalam tafsir Ibn Kasir. Tafsir tersebut menerangkan tentang asbab nuzul QS Al-Anaam/6: 108 bahwa ayat tersebut turun sebagai teguran kepada sebagian muslim yang memaki sesembahan berhala atau kepercayaan lain, maka turunlah ayat ini,
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَٰلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّهِم مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُم بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.

Asbabun Nuzul ayat ini:
Abdurrazzaq berkata, Muammar memberi tahu kami bahwa Qatadah berkata, “Dahulu ada kaum muslimin memaki berhala-berhala kaum musyrik. Kaum musyrikin pun membalasnya dengan memaki Allah swt.” Maka Allah menurunkan firman-Nya, agar tida memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah,…” Umat Islam memang berbeda objek sesembahan dengan agama lain, tetapi juga dituntutut untuk menghormati sesembahan agama lain, seperti diajarkan QS al-Kafirun: 6,
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
Untukmu agamamu, dan untukku juga, agamaku”.

Wasalam,
Tamrin City, Jakarta, 21 Maret 2022

BERITA TERKAIT

Berita Populer

Komentar Pembaca

error: