KHAZANAH SEJARAH:
TAHAPAN PERKEMBANGAN PEMIKIRAN TERHADAP AGAMA (2)
Oleh Ahmad M. Sewang (Guru Besar Peradaban Islam UIN Alauddin Makassar)
Memang, dalam teori antropologi bahwa pemikiran manusia terhadap agama sejalan dengan perkembangan kemajuan berpikir manusia itu sendiri. Pada tahap awa, manusia belum bisa memberikan jawaban secara rasional terhadap tantangan alam yang dihadapkan kepadanya. Kelemahan manusia menghadapi tantangan alam ini, menyebabkan segala jawaban dikembalikan kepada motologi.
Keganasan angin topan, hujan lebat yang menyebabkan banjir besar, musim kemarau berkepanjangan mengakibatkan kekurangan pangan, penyakit yang mewabah menyebabkan kematian masal. Semua kejadian yang misterius itu, menurut mereka, disebabkan karena dalam setiap benda mengandung “mana” atau kekuatan gaib yang menggerakkannya. Untuk menjinakkan mereka perlu diberi sesajen. Akhirnya, mereka mulai percaya kepada semua benda mempunyai roh. Kepercayaan semacam ini disebut Animisme. Binatang mempunyai roh, tetapi bila kena anak panah ia tidak bisa bergerak, artinya rohnya sudah tidak ada. Kemana roh itu? Ia akan gentayangan dan bisa singgah di mana saja. Ia bisa singgah di pohon, maka pohon itu pun disembah agar tidak mengganggu manusia, maka terjadilah sesajen di mana-mana. Semata-mata merayu roh tadi agar tidak mengganggu.
Dalam perkembangan berikutnya, manusia mulai berpikir bahwa di antara roh-roh itu ada yang paling berpengaruh dan dianggap sebagai pemimpin. Karena itu, mereka mulai menyeleksi dari banyak Tuhan (Politeisme) menjadi beberapa Tuhan atau Henoteisme. Manusia kemudian membatasi Tuhan yang banyak dalam jumlah tertentu.
Pada tahap berikutnya dari pemikiran manusia terhadap agama adalah kepercayaan pada monotheisme. Jadi, monotheisme merupakan tahap terakhir dari perkembangan pemikiran manusia tentang Tuhan. Ide monotheisme dalam filsafat Islam dapat diterima, tetapi bukan sebagai hasil dari evolusi perkembangan pemikiran manusia. Sebab ajaran monotheisme dalam Islam adalah wahyu langsung dari Tuhan. Memang, monotheisme atau tauhid merupakan ajaran pokok semua rasul Allah swt. Kedatangan para rasul yang silih berganti adalah setelah terjadi penyelewengan dari paham monotheisme yang disebabkan setelah berselang beberapa waktu lamanya ditinggal pergi oleh rasul yang mengajarkannya. Di dalam QS al-Anbiya’ (21): 25, Tuhan berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ (25)
Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya, bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Aku, maka sembahlah Aku.
Menurut Nurcholish Madjid, manusia tunduk kepada sesuatu disebabkan karena salah satu dari tiga hal, yaitu: misterius, hebat, dan mengagungkan; dalam istilah Latin disebut mysterium, tremendum, et fascinans. Seperti yang telah dikemukakan bahwa pada masyarakat primitif semua fenomena alam yang tidak bisa diselesaikan oleh pemikiran mereka yang sederhana digolongkan kepada sesuatu yang misterius. Kemisteriusan akan membawa kepada rasa takut. Untuk menggodanya sehingga tidak mengganggu dijadikanlah sebagai objek sesembahan. Maka binatang yang mengandung mysterium, tremendum et fascinans, seperti singa, burung hantu, dan binatang lainnya. Demikian halnya, matahari, bulan, dan bintang menjadi objek sesembahan. Dalam bahasa Arab disebut ilah, yang artinya objek sesembahan.
Dalam perkembangan pemikiran manusia terhadap Tuhan, benda-benda yang menjadi ilah tadi tidak lagi misterius karena sudah dapat dipahami, seperti sebab-sebab terjadinya kilat, hujan, dan banjir, maka gugurlah benda-benda tersebut sebagai ilah. Ketika Neil Armstrong menginjakkan kakinya di bulan, maka gugurlah bulan sebagai ilah atau Tuhan, bulan sudah mati.
Di sinilah berlaku filsafat لااله الا الله (tidak ada Tuhan selain Allah swt., sebab menurut Nurcholish Madjid, semua yang misteri dapat dipecahkan dengan kemajuan pemikiran manusia; bulan bukan tuhan, laut luas, pohon rindam, petir yang menyambar, hujan lebat, semuanya tidak perlu disembahn dan diberi sesajen karena filsafat لااله الا الله. Karena itu, Tuhan dalam Islam Maha Gaib, maka Dia satu-satunya yang tidak bisa di gambar. Dialah satu-satunya Maha mysterium, tremendum, et fascinans.
Wasalam,
Makassar, 24 Maret 2022