• OPINI
  • Tafsir Esoterik Tentang Puasa

Tafsir Esoterik Tentang Puasa

Facebook
WhatsApp
Twitter

TAFSIR ESOTERIK TENTANG PUASA(QS.AL-BAQARAH/2:183185)

Oleh : Muhsin Mahfudz
(Dosen Tafsir UIN Alauddin Makassar dan
Pembina Pondok Pesantren DDI AlIhsan Kanang, Polman)

Pernyataan sahabat (qaul al-shahabah), Abdullah ibn ‘Abbas (w. 68 H.), sangat terkenal dikalangan pakar tafsir. Ibnu ‘Abbas berkata “al-Qur’an dzalul dzu wujuh fahmiluh ‘ala ahsan wujuhih” (al-Qur’an itu mudah, memiliki banyak sisi makna maka gunakanlah berdasarkan makna terbaiknya). Komentar pakar tafsir seperti Imam al-Suyuti (w.911 H.) dalam kitab al-Itqan mengatakan bahwa al-Qur’an dapat dilihat dari dua sisi, yaitu terbukanya ayat-ayat al-Qur’an terhadap penafsiran dan penakwilan, dan al-Qur’an mengandung perintah dan larangan yang bersifat syar’I (al-Suyuthi: I, h.180).

Pemahaman pakar tafsir menunjukkan bahwa ayat-ayat al-Qur’an mengandung makna eksoterik (zhahir) dan esoterik (bathin/takwil). Bahkan, pada abad ke-3 dianggap sebagai masa keemasan tafsir esoterik, ketika sejumlah tafsir dengan pendakatan sufistik ditulis secara musalsal (lengkap), ketika Imam al-Tustari (w. 283 H.), Imam al-Turmudzi (w. 285 H.) hingga Muhyiddin Ibnu ‘Arabi (w. 628 H.) menulis tafsir secara esoterik.

Saya ingin mengambil contoh penafsiran esoterik QS. al-Baqarah/2: 183 yang menurut penafsiran normatifnya selalu dikaitkan dengan kewajiban berpuasa pada bulan Ramadhan. Tetapi, tafsir esoterik kutiba ‘alaikum al-shiyam dalam ayat tersebut lebih dimaknai sebagai qanun (norma) yang bertujuan untuk menghilangkan dominasi kekuatan sifat binatang (al-quwwah al-bahimiyah) dalam diri seorang manusia, (Ibnu ‘Arabi; I: 1428 H., h. 58). Sifat kebinatangan dalam diri manusia yang paling nyata adalah sifat “perusak” (al-mufsid), sebagaimana Allah secara umum mengkategorisasi manusia penghuni jagad ini menjadi dua, yaitu orang yang berpihak kepada kebaikan dan kemanfaatan dan orang yang memiliki mental perusak dan kesia-siaan [QS.al-A’raf/7: 168].

Dengan demikian, menurut Ibnu ‘Arabi puasa Ramadhan adalah Qanun bukan sebatas kewajiban syar’i. Kewajiban syar’i, jika sudah terpenuhi syarat dan rukunnya maka sudah tercapai tujuannya. Sementara, Qanun itu adalah kewajiban yang mengandung nilai dan nilai itulah yang menjadi substansi dari suatu norma. Bagi orang yang menangkap puasa sebagai norma maka menjaga nilai merupakan komitmen yang harus ditunaikan untuk menghilangkan segala perbuatan yang bertentangan dengan kebenaran atau kebaikan.

Penafsiran esoterik tentang Syahr Ramadhan (bulan Ramadhan) dalam QS. 2: 185 tidak dimaknai sebagai nama bagi bulan puasa, tetapi lebih dimaknai sebagai momentum pembakaran jiwa dengan cahaya kebenaran (ihtiraq al-nafs binur al-haqq). ‘Ibnu ‘Arabi berangkat dari makna primordial dari ramadhan yang berarti ‘membakar’. Sementara kata al-Qur’an dan al-Furqan dalam ayat tersebut dimaknai sebagai nalar (al-‘aql). Bagi Ibnu ‘Arabi, al-Qur’an dalam konteks ayat ini adalah al-‘aql al-qur’ani yaitu akal universal yang dapat mengantarkan manusia kepada kesatuan akal intelektual.

Manusia yang telah sampai kepada akal universal akan memiliki sistem pengatahuan yang akan memandunya ketika menggunakan akal partikularnya. Itulah sistem pengetahuan yang dimiliki oleh para Nabi dan Rasul Allah. Akal universal yang diidentifikasi sebagai al-‘aql al-qur’ani oleh Ibnu ‘Arabi, agaknya dipengaruhi oleh filsafat unitas intellectus yang dicetuskan oleh Ibnu Rusyd (w. 595 H.). Jika akal universal ini bekerja dalam diri seseorang maka ia adalah sumber hukum berpuasa. Baginya, berpuasa adalah norma yang manusia harus lalui, ada atau tidak adanya perintah berpuasa.

Masih dalam QS.2: 185, Ibnu ‘Arabi menafsirkan kata al-Furqan dengan akal partikular (al-‘aql al-furqani) yaitu dalil-dalil partikular yang terbangun dari akal universal. Akal partikular inilah yang berbicara tentang hukum-hukum dasar seperti halal-haram, pahala-dosa, surga neraka yang menjadi domain kajian dalam dunia fikih dan teologi. Jika akal partikular yang bekerja dalam diri seseorang maka ia harus ‘mempuasakan’ perkataan, perbuatan dan gerakan yang tidak mengandung kebenaran dan kebaikan. Pada posisi inilah manusia diwajibkan untuk berpuasa.

Berdasarkan secuil penafsiran esoterik Ibnu ‘Arabi di atas, saya berpandangan bahwa mengapa umat muslim sudah bertahun-tahun berpuasa tetapi sangat sulit indikasi (dalil) yang menghubungkan antara ibadah puasa dengan perbuatan manusia. Bisa jadi karena manusia yang berpuasa hanya beribadah menurut akal Furqani tetapi belum bekerja pada sistem akal Qur’ani. (wallahu a’lam bi al-shawab).|*

Informasi Lainnya