TAFSIR ESOTERIK TENTANG TAKWA
Oleh : Muhsin Mahfudz
(Dosen Ilmu Tafsir UIN Alauddin Makassar
dan Pembina PP Al–Ihsan DDI Kanang, Polman)
Takwa merupakan term yang sangat popular di kalangan umat Islam. Begitu populernya sehingga takwa digunakan di dalam berbagai perspektif sosiologis. Seseorang yang dikenal takut perilakunya melanggar norma agama sering disebut orang yang bertakwa. Bahkan, istilah takwa akrab juga di kalanagan pemerhati fashion. Pakaian yang menyerupai model baju tradisinal Cina yang sering digunakan beribadah kaum muslim juga biasa disebut dengan ‘baju takwa’, mungkin terisnpirasi dari istilah al-Qur’an, libas al-taqwa (pakaian takwa) dalam QS.al-A’raf/7:26. Dalam konteks berpuasa, takwa juga merupakan predikat yang menjadi tujuan berpuasa [QS.2:183].
Kata takwa sendiri berasal dari waqā – yaqī – wiqāyah yang berarti khasyah (takut). Makna leksikologinya adalah melindungi sesuatu dari sesuatu. Ketika seseorang berkata “bertakwalah kepada Allah” maka yang dimaksudkan adalah perlindungan diri seorang hamba dari azab Allah swt.(Ibnu Zakariya: 6, 131). Berarti makna yang akan selalu ada dalam kata takwa adalah takut karena seseorang meminta perlindungan dan menjaga diri karena adanya rasa takut.
Dalam berbagai definisi, takwa umumnya dimaknai dengan al-imtitsāl bi awāmirih wa al-ijtinābu bi nawāhih (melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya). Definisi tersebut sangat umum di kalangan ahli fikih (fuqahā), tetapi kalangan ahli tafsir esoterik, takwa dimaknai sebagai perbuatan hati (‘amaliyah qalbiyah) karena kemampuan untuk melaksanakan perintah dan menghindari larangan-Nya hanya jika seseorang memiliki komitmen dari dalam. Imam al-Tustari (w. 283 H.), pelopor tafsir esoterik abad ke-3 H, mengatakan bahwa takwa itu adalah merdeka dari pengaruh (buruk) lingkungan dan kekuatan selain Allah, selalu kembali kepada perlindungan Allah dan tidak tergantung selain kepada Allah dalam keadaan apapun (al-Tustarī: I, 26). Lebih jauh, Imam al-Qursyairi (w. 465 H.), seorang sufi abad ke-5 H., berpendapat dalam tafsirnya, Lathā’if al-Isyārāt, bahwa takwa itu adalah menjaga diri dari gelapnya kebodohan, melihat dengan cahaya akal dan menyucikan diri untuk benar-benar bisa sampai kepada Allah swt. (al-Qusyairi: I, 55). Definisi mufassir klasik menunjukkan bahwa menaati perintah dan larangan Allah harus dilandasi oleh kesucian hati, jika tidak maka bisa saja seseorang taat hanya ingin melepaskan kewajiban dan itu bukanlah takwa.
Hakekatnya, ketakwaan itu sifatnya fitrawi, sudah ada di dalam diri setiap orang, hanya saja sering tertutupi oleh kotornya hati dan jiwa dari kemaksiatan. Menurut Ibnu ‘Arabi (w.628 H.), ketika menafsirkan QS.2: 2, bahwa yang dimaksud dengan orang yang bertakwa itu adalah mereka yang sudah stabil hidup dalam fitrahnya yang sejati, jauh dari kesyirikan dan keraguan karena kesucian hati ketercerahan jiwanya (Ibnu ‘Arabi: I, 12). Suatu ketika, Sayyidina Ali ibn Abi Thalib ra. ditanya tentang takwa, maka ia menjawab “takwa itu adalah takut kepada Allah, mengamalkan al-Qur’an, merasa cukup dengan apa yang dimiliki, dan sudah siap menghadapi hari akhirat (Amin al-Kurdi, 50). Keempat unsur ketakwaan yang dikemukakan oleh Sayyidan Ali menggambarkan idealitas dan keparipurnaan seorang yang bertakwa.
Seorang yang takwa kepada Allah di dalam kesuacian hatinya tidak akan merasa berat dalam menjalankan segala aturan agama yang bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah. Di dalam kehidupan, seseorang akan merasa cukup dan jauh dari sifat ketamakan dan keserakahan, hidupnya sungguh stabil dan konsisten, serta sangat siap untuk menyambut hari kemudian, bahkan dirindukan oleh surga Allah swt. wallahu a’lam bi al-sawab.|*