Teppa’ Bumbum Tammengundur di Tengah Massifnya Kontemporer
Oleh: Sahabuddin Mahganna
(Seniman & Musikolog Sulbar)
Pamflet papan atau tanda pengenal usaha yang bergerak dalam perdagangan kayu. UD. Tammengundur jelas disematkan untuk kaum-kaum terpencil di Todang-todang. Mereka tiba di Wonomulyo Kabupaten Polewali Mamasa kala itu, meninggalkan kampung terisolasi ke titik aman 1960-an. Jalan Kapten Jumhana disesaki campuran Mandar Todang-todang dan Bugis, berkembang pesat. Dari sinilah gagasan hasil saduran citra tradisional dibawa dari asal menjadi kontemporer.
Pengusaha muda UD. Tammengundur, H. Jabbar Lika (almarhum) bersama H. Alibaas Lika memastikan nama komunitas Rebana tradisional, dinilai dapat membawa suatu daerah dan terpublikasikan 1993, yang belakangan dipahami identitas dimana darah kelahiran saya dituliskan.
Nama gunung tertinggi di Balanipa Todang-todang dalam wilayah Appe Banua Kaiyyang menjadi alasan, berharap kelak berada di puncak atau selalu hidup menawan. Dengan menawarkan keahlian tabuhan De’de Barakka Pole Waliyullah Sultan Auliya Syehk Abdul Qadir Jaelani, ini lalu Tammengundur dijadikan komunitas sekaligus pandangan kebudayaan yang tidak terlupakan.
Bunyi-bunyi khas kampung dan intonasi zikir mengalun diantara kaum Jawa Transmigran, melengkapi catatan daftar citra-citra di area Gunung Mulyo ini. Awalnya memenuhi panggilan hajat keluarga menuju komersial, hingga penyebaran rebana jadi meluas oleh keahlian kerabat yang bermukim di wilayah luar Ujung Baru.
Muhammad Tahir (Papa Anti) bersama Wahab, secara otodidak, naluri dagangnya pada kreativitas hiburan komersil seperti Band, dan Keyboard Tunggal Elektronik Tone (elekton), Hiburan Televisi secara nasional, kerap kali memicu penawaran berbeda untuk melahirkan gaya-gaya hiburan terkini. Dan itu artinya, mereka berupaya melokalkan atau modifikasi tata pentas.
Olahan ritmis cepat De’de Panette dan Petindor memuluskan instrumen Tambur dan Simbal gaya Eropa serta koreografi seragam, merangkak pelan dan digandrungi hampir seluruh komunitas pakem rebana.
Pola permainan tradisi seperti ini pun menuai sorotan, mengecam aksi-aksi sebagai pembodohan budaya, membuat personil khususnya pemimpinnya meladeni riak-riak, tetapi tidak jarang menjadi perbincangan hangat bersifat pujian atas produk budaya yang baru lahir. Antraksi dan posisi strategi pemain depan dipahami untuk eksekutor Teppa dan Bumbum, hempasan rambut gondrong dan kacamata, gaya Me’da’ serta ayunan tangan, menguji kesabaran penonton untuk terlibat didalamnya. Dan ini segera disambut ikon baru “Parrawana Tammengundur”.
Di tahun Milenial, Demo non tradisi pun memacu kreatifitas dua bersaudara itu, memanfaatkan situasional orkes dangdutan komersil yang terpapar oleh pelanggan tidak setia. pemain-pemainnya pun dipaksa untuk menemukan pendapatan baru (keyboard tunggal). ini tidak bertahan, sebab “caiya-caiyya” (karaoke) pada dekade sepuluh tahun sebelum ini tersebar. Dan spesialis-spesialis itu pun menjadi keluarga baru, merasa punya gairah kembali.
De’de tallu-tallu, De’de Panette, Gambus Sayang-sayang, menjadi paket inti bagi fans pada olahan tiruan musik campur sari di tataran hibryd Jawa, menjadi parodi khas pesisir Mandar. Hasilnya, Ratapan Anak Tiri Karya Revo Ramon 1973, dangdut Rock “Bumi ini Semakin Panas” dipopulerkan oleh Cucu Cahyati 2000-an, karya karya Rhoma Irama sejenak menjadi soneta, khas pemanggungan ini. Hal yang menarik sebab Ensamble Orkes tahun 90-an terpadu dengan Elvi Sukaesih diplesetkan menjadi Elvi Sukaesu, “Gadis atau Janda” karya Awab Purnama, larut malam seperti Khuc-Kuch Hota Hai hasil liris 16 Oktober 1998, parodi tentang perselingkuhan, pernikahan yang semua itu dilokalkan.
Bukti menuju kebangkitan kembali musisi orkes panggilan sedang dalam proses, dengan segala keterbatasan personil, lewat kerja-kerja kreatifnya jelas niatnya tidak memunculkan karya, meskipun esensialnya penciptaan dan penyelamatan.
Penyebaran dan publikasi panggilan rakyat, karena memang apresiatif nya adalah masyarakat, ini relevan dalam pikir para ilmuwan bahwa kebudayaan dari rakyat akan kembali ke rakyat, atau kebudayaan itu adalah milik masyarakat.
Overview dan ikhtiar hanya untuk masalah penyambungan hidup yang berlanjut, Kendatipun sedikit akan terlihat menyimpang. Gambus dan kroncong menjadi Sayang-sayang, telah populer di tahun 50-60- an, Band Modern 70-an, namun sebelumnya terdapat pertunjukan tradisi seperti Rebana dan drama rakyat tanpa tulisan naskah, di Mandar Tammengundur layaknya pertunjukan Overa Van Java.
Muhammad Tahir, Ahmad Raya (Almrh) , Wahab, Muhammad, Abd. Rasak (Palo), tentu merasa dihargai, oleh spesial Performance Guest Star di Taman Budaya Sulawesi Barat pada perhelatan akbar Jambore Budaya 2022, totalitas dan ketabahan aksi, mampu meyakinkan Arif Suling profesional Pinrang, penabuh Tabla Senior (Bobi Kaisar Band), dan Alam Keyboard serta Ali Guitaris pemilik Band Antlantik Polewali. Dengan 27 personil, tidak jarang mereka terbaik di ajang lomba, Sulawesi-Kalimantan pun dikunjungi dan karena alasan tertentu, Malaysia Batal.
Tammengundur dengan segala kekurangannya, hidup diruang Urban, hidup di era digital, fulgar dan norak atau kampungan, itu hanyalah sebatas guyonan, menjalin romantisme kebudayaan, meramu Teppa dan Bumbum di tengah massifnya Kontemporer.|*