BANNIQ.Id.Majene. Sebagai orang Sulbar, mungkin kita selalu akan kepayang dengan view alam yang eksotis di beberapa penggalan wilayah di Enam Kabupaten di Sulbar, ditambah pesona kekayaan alam yang melimpah di perut bumi Jazirah sipamandaq, diperindah dengan eloknya pernak pernik budaya yang menggambarkan kesetiaan para sepuh dan tetua yang mendiami litaq pembolongan, Litaq Mandar, merawat budaya yang hingga kini masih bisa menjadi suguhan ketika mengunjungi eks nagari Pitu Ulunna Salu dan Pitu Baqbana Binanga.
Diantara pesona dan pemikat rindu itu, kita juga mendengar lenguh napas yang merintih, orang-orang yang bertengger di Punggung jazirah mandar. Di pelosok Kabupaten Majene, tepatnya di Kecamatan Ulumanda, di Kecamatan pemekaran Kecamatan Malunda ini, didiami masyarakat dengan ketegaran yang power full, mengingat akses jalan penghubung untuk bersinggungan dengan dunia luar, kondisinya sangat Parah dan bisa memantik kecelakaan bagi yang melintasinya bila tak berhati-hati.
Tak ada lagi serpihan aspal sebagai pembalut jalan yang tersisa, yang ada hanya hamparan tanah dan hamburan tanah liat yang terlindas oleh moda transportasi khusus (Hardtop) dan sepeda motor yang menjadi kendaraan andalan masyarakat selain berjalan kaki.
apatah lagi bila hujan mengguyur, medannya lebih parah dan membahayakan melebih arena ” Relly Para ofroder”
Cerita tentang adrenalin yang full bila ingin melintasi jalan poros Ulumanda Taukong Tandiallo, dinukilkan Penggiat Literasi pemilik rumah pustaka, Nusa Pustaka Pambusuang yang juga ketua ALiansi Jurnalis Independen(AJI) Kota Mandar, Ridwan Alimuddin, yang pekan lalu menapaki jalan berlumpur, poros ulumanda-tandiallo untuk suatu kegiatan literasi di Dusun Taukong, salah satu dusun terpencil di Kecamatan Ulumanda Kabupaten Majene.
Cerita Ridwan yang ditulis melalui akun Facebook miliknya. Ia mengisahkan tentang kekuatan dan ketegaran yang dimiliki oleh masyarakat yang mendiami wilayah Ulumanda dan sekitarnya, mengingat kondisi jalan penghubung ke ke beberapa perkampungan seperti Taukong,dan beberapa daerah transmigrasi di sekitar Ulumanda, yang sangat buruk.
Jarak tempuh menuju Taukong, sekira 14 km ditempuh sekitar 7 jam dengan berjalan kaki. Kontur tertinggi sekitar 1.000 mdpl (meter diatas permukaan laut) adapun Taukong sendiri di kisaran 600 mdpl.
Di jalan terburuk yang dia lalui , sebut Ridwan ia bersua dengan seorang ibu yang belum sepekan usai dioperasi sesar berjalan menyusuri jalan buruk ini.
” Ditemani kerabatnya menggendong bayi merah, hujan deras buruk bagi perjalanan ini, tapi sepertinya itu bagai nyanyian bumi buat sang bayi. Dia tak menangis hingga dia lapar. Singgah berteduh, si ibu menyusui si gadis mungil. Saya ingat dua putriku, tak pernah terbersit saya akan memiliki keberanian yang mereka miliki, membawa di jalan coklat ini, Jangan karena Ulumandaq bermakna “hulu Sungai Mandar” maka jalannya dibiarkan menjadi sungai di saat hujan,” Gerutu Ridwan melalui akun facebooknya.
Di balik semua itu, Ridwan menukilkan bahwa ada hikmah di balik semua itu, anak-anak yang lahir di Ulumanda akan menjadi anak-anak yang kuat karena alamlah yang menempa kekuatan itu.
” Jika anakmu lahir di Ulumandaq, dia akan kuat dan tangguh, Bukankah “sipamandaq” berarti (saling) menguatkan? ,” pungkasnya di status FBnya|nrd.S