Menulis Jejak KH Muhammad Husain, Pukkali Malunda’ (Bagian 1)
‘Kelahiran dan Koromah”
Catatan Muhammad Munir
Tahun 2018/2019 menjadi tahun tahun yang membuat penulis lebih fokus dalam penelusuran jejak Annangguru dan Tosalama’ di Mandar. Terlebih saat bersentuhan dengan program Puslitbang Kemenag RI, nyaris tak ada yang tersisa dari waktu penulis selain penjejakan. Mulai dari Syekh Abdurrahim Kamaluddin sampai ke Majene.
Mungkin ada yang bertanya, kenapa fokusnya hanya Polman dan Majene? Jawabannya adalah bahwa episentrum energi keulamaan di Mandar memang lebih terasa di dua titik wilayah ini. Wilayah lain seperti Mamuju dan Mamasa adalah target dakwah sebagai penganjur Islam. Itu bisa dilihat dari jejak Imam Lapeo yang menjadi Kadhi di Mamuju dan Tapalang. Termasuk wilayah Mambi Mamasa, diperkenalkan oleh Todilamung Sallang, Toilang, Tuan di Bulobulo dan lainnya adalah ulama yang berasal dari pantai atau di wilayah Polman dan Majene.
Diantara hasil penelusuran itu adalah penulisan Jejak Pukkali Malunda. Pemilik nama asli KH. Muhammad Husain ini adalah ulama kharismatik yang tidak saja dikenal dengan keilmuannya tapi sekaligus kekaromahan yang dimilikinya terutama saat gelombang Tsunami yang menerjang pesisir Mandar pada tahun 1969. Kala itu, Pukkali Malunda menunjukkan pada semua warga yang saat itu telah mengungsi ke ketinggian Malunda. Tapi tidak bagi keluarga Pukkali.
Kala itu, 23 Februari 1969 terjadi gelombang tsunami atau lembong tallu. Tsunami 1969 tercatat srbagai salah satu tsunami besar keempat (1952 – 2004) yang pernah melanda Indonesia. Tinggi gelombang lebih 10 meter. Kepada penulis Hj. Bintang, salah satu putri Pukkali Malunda menceritakan, sesaat setelah gempa, penduduk Malunda dan sekitarnya mengungsi ke pegunungan. Tapi keluarga kami tidak, bahkan saat itu rumah kami lagi kedatangan tamu istimewa. Dirinya (Hj. Bintang) yang dipinang dan sedang menerima tamu pihak mempelai laki laki terkait penentuan hari H pernikahannya.
Ketika gelombang siap menghantam Malunda, Pukkali bergegas masuk mengambil wudhu dan berjalan menuju ke arah pantai. Semua mata memandangnya khawatir tapi tetap memiliki keyakinan bahwa Pukkali pasti telah memikirkan semua resoko dari gelombang itu. Sesampainya di pantai, ia membaca doa dan mengibaskan handuknya ke arah ombak yang siap menggulungnya dalam hitungan detik. Dengan izin Allah, ombak yang menggulung itu terbelah. Ada yang mengarah ke arah selatqn dan ada yang mengarah ke utara. Praktis, Malunda terlepas dari hantaman gelombang. Gelombang akhirnuya menghantam kampung diluar Malunda.
ukkali Malunda diperkirakan berumur 110 tahun atau lahir pada 1883. Umur beliau memang lebih 100 tahun sebab Pukkali Malunda pernah menjadi murid senior dari Imam Lapeo; Pukkali Malunda adalah kakak kelas Ambo Dalle sewaktu belajar ilmu agama di Pulau Salabose; dan Pukkali Malunda jauh lebih tua dari pada Annangguru Saleh yang mana sering datang ke Malunda untuk berdiskusi dengan Pukkali Malunda.
Sekedar catatan Imam Lapeo lahir pada 1838 dan wafat pada 1952 (umur 115 tahun), Ambo Dalle lahir pada 1901 dan wafat pada 1996 (96 tahun), dan Annangguru Saleh lahir pada 1913 dan wafat pada 1977 (65 tahun).
Pukkali lahir dari pernikahan Cindara dengan Pua’ Bunga. Pua’ Bunga adalah turunan Malunda asli dengan ibu dari Onang. Sementara Cindara yang akrab disapa Pue’ Rakka adalah turunan dari Rantebulawan. Dari pernikahan ini lahir empat orang anak, 3 perempuan dan 1 laki-laki yang tak lain adalah Muhammad Husain atau Pukkali. Sejak lahir, kulit Pukkali itu putih sehingga ia akrab dengan gelaran I Balanda. Bahkan kerap dicullok oleh pasukan Belanda dan dibawa ke Majene. Penculikannya bukan untuk menyakiti tapi karena ketertarikannya pada sosok Pukkali yang mirip dengan mereka.
Di usia remaja, Ia meninggalkan Malunda untuk menuntut ilmu. Tujuan utama belajar agama adalah di Pulau Salemo. Pulau tersebut salah satu pulau kecil di Kepulauan Sangkarang atau Kepulauan Spermonde, yang masuk dalam wilayah Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep) sekarang ini. Meski tergolong pulau kecil, Pulau Salemo adalah salah satu pusat perdagangan di Selat Makassar. Pernah diberi gelar Singapura-nya Selat Makassar. Selain sebagai pusat perdagangan, Pulau Salemo juga banyak memiliki ulama kharismatik yang mengajarkan ilmu agama Islam.
Pulau Salemo banyak menghasilkan alumni yang belakangan menjadi ulama yang sangat dihormati, tiga diantaranya adalah Imam Lapeo, Annangguru Saleh, dan Ambo Dalle. Belakangan, beliau bertiga sama-sama pernah menjadi kadi. Meski Imam Lapeo,Annangguru Shaleh dan Ambo Dalle sama-sama pernah memangku jabatan kadi, tapi yang ada kata “kadi” di sapaannya hanyalah H. Muhammad Husain, yakni Pukkali Malunda.
(Bersambung)