Senin, November 25, 2024

Seri Tulisan Jelang Festival Kota Tua Majene ( Perang Ammana Wewang dan Jatuhnya Mandar, 2)

- Advertisement -
Pemerhati Sejarah Mandar,Muh.Ridwan Alimuddin saat memperhatikan Meriam peninggalan Belanda diArea Gedung Assamalewuang Majene)


Perang Ammana Wewang dan Jatuhnya Mandar (2)
Oleh: Muhammad Ridwan Alimuddin, (pemerhati sejarah Mandar)


BANNIQ.Id.Opini. Berikut adalah sekilas sejarah perlawanan dari Mandar, khususnya di kawasan Teluk Mandar di awal tahun 1900-an. Peristiwa yang bisa memberi gambaran ‘latar belakang’ beberapa kejadian, misalnya yang disampaikan di atas, bahwa yang menjadi pejabat lokal adalah para bangsawan, tentu bangsawan yang dimaksud adalah yang bisa berkolaborasi dengan pemerintah Belanda. Tapi tak serta merta juga mereka langsung dicap sebagai pengkhianat.

Di Mandar, bangsawan yang bisa menduduki jabatan (baik jabatan administrasi maupun jabatan lokal seperti maraqdia) adalah mereka yang dianggap bisa bersekutu dengan Belanda. Tokape diasingkan ke Pacitan Jawa Timur, Ammana I Wewang ke Pulau Bangka, dan Ammana I Pattolawali tewas. Mereka semua adalah ‘darah murni’ yang bisa jadi maraqdia di beberapa kerajaan di Pitu Baqbana Binanga. Tapi bukan itu yang terjadi.

Mereka melawan, tak bisa duduk di singgasana maraqdia. Sebaliknya. Dalam sejarah Mandar, bangsawan-bangsawan yang tunduk dan bisa berkolaborasi dengan Belanda-lah yang akhirnya bisa menjabat. I Mandawari, I Laqju Kanna Doro, Andi Baso Parenrengi adalah mereka yang pernah memegang jabatan maraqdia. Belanda tak pernah menangkap mereka. Nanti penangkapan dilakukan ketika ada maraqdia yang melawan, yaitu Andi Depu, anak I Laqju Kanna Doro; isteri Andi Baso.

Tulisan berikut adalah rangkuman dua penulis Mandar dari Majene, Syaiful Sinrang lewat bukunya “Mengenal Mandar Sekilas Lintas I: Perjuangan Rakyat Mandar Melawan Belanda 1667 – 1949” dan M. T. Azis Syah “Biografi Ammana I Wewang Berjuang Menentang Penjajahan Belanda”. Dua karya tersebut adalah catatan perjuangan Ammana I Wewang (juga Tokape dan Ammana I Pattolawali) perspektif lokal.

Perang Ammana I Wewang penting sebab karena perlawanannya yang sangat masif, juga efek dari perang tersebut. Kekalahan Ammana I Wewang membuat Belanda bisa leluasa membangun di Mandar, khususnya di Majene. Inilah cikal bakal sehingga kampung kecil di Teluk Majene yang masuk wilayah Kerajaan Banggae menjadi ibukota Afdeling Mandar. Dimulailah kehidupan kota di tanah Mandar: sistem pemerintahan modern mulai lancar, konstruksi jalan, penataan pemukiman dilakukan dan rumah sakit pertama di Mandar.

Baca Juga >>   Bahas Peningkatan Produksi Ternak Melalui Pembentukan Disnak, Pj Gubernur Berkunjung ke DPRD Subar

Pada tahun 1819 salah satu pusat perdagangan dunia mulai mapan, yakni Singapura (sebelumnya disebut Tumasik, orang Mandar yang berlayar ke sana untuk berdagang disebut “Pattumasek”). Pada masa itu dan setelahnya, salah satu komoditas perdagangan dunia yang juga banyak terdapat di Mandar marak diperdagangkan, yakni kopra (boka’ dalam bahasa Mandar). Dengan kata lain, Mandar terlibat dalam perdagangan internasional. Sebab pada tahun 1850, perdagangan antara orang pribumi dengan orang Eropa mulai marak.
Menurut catatan Belanda, pada tahun 1860, jumlah pohon kelapa di Sulawesi Selatan sekitar 407.279 pohon (Mandar 16.502 pohon). Dan berkembang pesat pada 1875, di saat pohon kelapa mencapai 755.500 pohon.

Perdagangan dunia semakin marak semenjak dibukanya Terusan Suez di Mesir pada tahun 1869. Kemudian booming perdagangan kopi pada tahun 1870. Pada tahun yang sama, para mara’dia di Mandar mengadakan perjanjian politik dengan Hindia-Belanda yang secara signifikan mempengaruhi kekuatan kepemimpinan di Mandar (menjadi melemahkan). Waktu itu, pihak Belanda membeli kopra dari pekebun Mandar dengan harga yang sangat rendah dan hanya orang Belanda-lah (VOC) yang boleh membeli kopra. Di pihak lain, para pedagang (umumnya dari kalangan bangsawan sendiri) mengetahui harga kopra sangat tinggi di Tumasik (Singapura).

Jadi, pedagang pribumi mengharapkan harga yang layak. Permintaan ini tak digubris Belanda. Maka terjadilah perlawanan. Paling terkenal oleh perlawanan Maraqdia Tokape.
Sebelum I Boroa (gelaran lain bagi Tokape, yang artinya Si Nakal, sebab dia tidak tunduk pada Belanda), sepupu sekalinya yang bernama Mandawari alias Tomilloli memangku maraqdia. Di masa itu, Belanda bebas keluar masuk Mandar dengan berkedok sebagai pedagang. I Mandawari gembira bila Belanda datang, sebab selalu mendapat paket candu. Karena kegemarannya itu, urusan masyarakat terabaikan.

Baca Juga >>   Menteri Kebudayaan Kunjungi Kantor PWI Pusat

Hadat Appe’ Banua Kayyang pun seapakat untuk meninjau kedudukannya sebagai maraqdia. Akhirnya disepakati untuk mengangkat Tokape menggantikannya. Masa kepemimpinan Tokape, situasi politik terhadap Belanda di Balanipa berubah total. Tokape pun menjadikan dirinya sebagai pemimpin yang merakyat dan sering melakukan perjalanan ke daerah-daerah. Bila bertemu orang yang duduk-duduk saja, tak segan dia menegurnya dan meminta mereka untuk bekerja.

Tokape mengeluarkan kebijakan untuk tidak menjual kopra hasil rakyat Mandar ke Belanda, melainkan menjualnya langsung ke Makassar, Surabaya, dan Singapura. Tentu kebijakan demikian mengandung resiko sebab menentang Belanda. Maka dia bekerja sama dengan Ammana I Wewang, Maraqdia Alu yang juga Maraqdia Malolo atau panglima di Kerajaan Balanipa memperkuat pertahanan.

Lama kelamaan, gudang kopra Belanda kekurangan stok kopra. Belanda melakukan operasi pasar langsung ke masayarakat untuk membeli kopra. Tapi hal itu ditentang Tokape. Rakyat harus dibebaskan untuk memilih pembeli kopranya, jangan dipaksa. Demikian kehendak Tokape.(Bersambung)

BERITA TERKAIT

Berita Populer

Komentar Pembaca

error: