Rabu, Januari 15, 2025

Seri Tulisan Jelang Festival Kota Tua Majene(Perang Ammana Wewang dan Jatuhnya Mandar, 4)

- Advertisement -


Perang Ammana Wewang dan Jatuhnya Mandar (4)
Oleh: Muhammad Ridwan Alimuddin, (pemerhati sejarah Mandar)

BANNIQ.Id.Opini. Kedudukan Tokape digantikan (kembali) oleh Mandawari (menjadi maraqdia pada periode I: 1870-1872). Setelah menjabat selama 7 tahun (1874-1880), Mandawari digantikan oleh sepupu satu kalinya, I Sanggaria. Belakangan, karena bertentangan dengan hadat, I Sanggaria meletakkan jabatan sebagai maraqdia pada 1885. Untuk ketiga kalinya, I Mandawari kembali menjadi Maraqdia Balanipa (ke-49, 1885-1907).

Pelantikan I Mandawari diperdebatkan, sebab dia tidak dilantik oleh kaum hadat secara lengkap, tapi hanya beberapa. Itu pun terjadi di Makassar, oleh Belanda. Dia tidak dilantik di Mandar sebab banyak yang tidak setuju. Tapi karena I Mandawari pendukung Belanda, maka dia mempunyai posisi kuat.
Tertangkapnya Tokape membuat perlawanan Ammana Wewang menggunakan sistem gerilya. Sebab susah ditangkap, Belanda menerapkan politik adu domba. Mereka meminta dukungan bangsawan-bangsawan Balanipa yang lain yang juga kerabat dekat Tokape. Antar dua keluarga besar tersebut terbagi atas dua kubu: pendukung Ammana Wewang dan pendukung I Mandawari (pro Belanda).

Yang memberi sokongan ke Ammana Wewang adalah Ammana I Pattolawali dari Pamboang – Banggae, Ajuara dari Pamboang – Banggae, Sumakuyu dari Sendana, Parimuku, Andi Mattona, Petta Lolo dan Pettana Bone dari Mamuju. Kubu Mandawari terdiri dari Kajidi dari kampung Biring Lembang, Ahmad dari Pambusuang, Haleng Puaq Mattata dari kampung Tangnga-tangnga, H. Puangnga I Maqdu dari Lambe Karama, Daengnga I Dia dari Baruga Karama.

Kubu pertama mengharapkan keturunan Tokape menjadi maraqdia, sedang kubu kedua ingin mengembalikan I Mandawari ke tampuk singgasana Kerajaan Balanipa. Ada tiga putra Tokape yang bisa menggantikan posisi ayahnya, yakni Tommanganro (ayah I Sompawali, Maraqdia Alu), Simanangngi (ayah Andi Batari-batari Maraqdia Pamboang atau nenek Puang Mondaq alias Hj. Andi Sahari Bulan), dan Pamassei (ayah Andi Baso Pawiseang, suami Andi Depu).

Baca Juga >>   Warga Dusun Paroposumbiri Minta Pemerintah Bangun Tanggul Permanen untuk Cegah Banjir dan Longsor

Agar tidak dipertentangkan orang ketiga bersaudara tersebut menyatakan diri tidak bersedia untuk dicalonkan sebagai pengganti ayahnya dengan alasan: tidak mau bekerjasama dengan Belanda, tidak mau menjalankan tugas raja dengan pengangkatan tidak murni.
Karena keadaan darurat, para pejabat Appeq Banua Kaiyyang sulit menentukan pilihan pengganti Tokape. Mereka pun meminta pendapat ke tiga anak Tokape. Mereka bertiga sepakat menunjuk I Sompawali putra Tommanganro. Jadi I Sompawali adalah cucu Tokape. Sebab masih anak-anak (belasan tahun), ibu I Sompawali atau isteri Tommanganro, I Rilla Bulang sebagai pejabat sementara.

Merasa tidak mendapat dukungan, ia menunjuk saudara kandungnya yakni I Laqju Kanna Doro (ayah Andi Depu) sebagai “tydelijk waarnemen” (pelaksana tugas sementara) selama I Sompawali belum cukup usia. Penunjukan I Laqju Kanna Doro tersebut diketahui Belanda.

Belanda memanfaatkan situasi tersebut, mengambil kesempatan mendapat dukungang maraqdia sementara tersebut untuk membantu menumpas perlawanan Ammana Wewang dan kawan-kawan. Belanda menjanjikan kedudukan raja secara defenitif apabila berhasil memberi dukungan nyata untuk menangkap Ammana I Wewang. I Laqju Kanna Doro terpengaruh. Perlawanan Ammana Wewang cukup merepotkan Belanda.

Dalam masa-masa itu, di awal tahun 1905, tersiar kabar berita bahwa Belanda akan mendatangkan bantuan lebih besar yang akan diikuti patroli masif di Mandar. Informasi tersebut dibawa datang oleh pedagang-pelayar Mandar. Belakangan informasi itu terbukti. Dua kapal besi Belanda berlabuh di Banggae, Teluk Majene. Mereka melakukan tembakan ke darat. Tak ada tanda-tanda perlawanan. Mereka pun mendarat dan membuat perkemahan di kampung Camba. Oleh orang Mandar, perkemahan itu disebut “boyassoba”.
Para “pappuangang” dan “tomabubeng” pemangku hadat bekerjasama dengan rakyatnya, terutama dari Tande. Mereka melakukan persiapan untuk melakukan penyerangan ke kemah-kemah Belanda untuk kemudian menghalau kapal-kapal Belanda.

Baca Juga >>   Amujib Pastikan Pelantikan Dua Pj Bupati Dilaksanakan Senin Esok

Di perbukitan Tande para pejuang melakukan pertemuan dipimpin oleh Ammana I Wewang. Mereka membicarakan ultimatum dari Belanda yang meminta Ammana I Wewang dan pasukannya untuk menyerang dalam tujuh hari serta menyerahkan semua persenjataan. Namun yang terjadi di kampung Tirundung Tande tersebut adalah menolak ultimatum itu dan diputuskan menyerang Belanda pada 5 April 1905.

Sesudah makan siang, Ammana I Wewang memberi perintah kepada I Tanre Daengnga Baeda Maraqdia Kamande untuk memerintahkan seluruh pimpinan pasukan mengarahkan anak buahnya berangkat ke Majene bergabung menyerang kubu pertahanan Belanda di Camba. Menjelang magrib mereka tiba di Salabose dan Ondongang. Mereka beristirahat sejenak di kedua tempat tersebut.

Kode waktu penyerangan, agar serempak, menggunakan bunyi beduk di mesjid Camba. Saat bunyi beduk berbunyi, mereka serempak memasuki kemah-kemah Belanda. Banyak serdadu Belanda tewas di penyerangan itu. Ada yang lari ke kapalnya. Dari hasil serangan itu berhasil dirampas 81 pucuk senjata, 42 peti peluru, uang kerta delapan peti, uang perak dua peti, dan 10 ekor kuda yang sebelumnya dibeli dari penduduk setempat guna dipakai dalam patroli.

Awalnya ikut tertangkap dua ospri Belanda dan satu kopral keturunan Ambon. Belakangan mereka ditembak mati oleh Maraqdia Kamande. Selesai penyerangan ke Camba, untuk beberapa saat kemenangan dinikmati oleh para pejuang.(bersambung)

BERITA TERKAIT

Berita Populer

Komentar Pembaca

error: