OPINI
SULBAR ; DENGAN ATAU
TANPA “CORRUPTED MIND”
Oleh : Usman Suhuriah
Wakil Ketua DPRD Sulbar
BANNIQ.Id.Opini.Secara etimologis “corrupted mind” berarti kerusakan pikiran. Dalam kamus bahasa inggeris corrupted mind sepadan dengan pengertian ; ‘A bad trait that accustoms to self interest and make him think about dirty and bad things’, (adalah tabiat buruk yang menyebabkan seseorang memupuk sikap mementingkan diri dan menyebabkannya berfikir tentang perkara-perkara yang rusak, kotor)
Hal yang disebut ini pada bidang birokrasi sebut saja memang sarat dengan potensi corrupted mind. Begitu sebab ruang birokrasi memiliki otomatitasi dalam merancang, melaksanakan dan mengevaluasi berbagai kewenangan luas yang dimiliki.
Akan halnya bila pelaku birokrasi sengaja menutup akses, disamping pihak lain (masyarakat umum) berlaku defensif, apatis atau tidak peduli dengan situasi pekerjaan birokrasi, maka dalam tubuh birokrasi akan sempurna atau akan hidup subur corrupted mind ini.
Untuk menggambarkan bagaimana hal itu beroperasi adalah misalnya akan menyusup lewat ruang kebijakan dengan merencanakannya untuk mengambil keuntungan pribadi maka akan serta merta ditelurkannya ke dalam suatu keputusan. Niatnya yakni agar menerima legalitas untuk mendapatkan dukungan hukum. Legalitas hukum akan memberi penguatan sebagai bukan pelanggaran hukum.
Begitu juga lewat pelaksanaan keputusan. Saat pelaksanaannya –pelaku birokrasi akan menyandarkan pada keputusan. Sebagai contoh kecil, dalam penentuan harga atau jasa, cenderung akan mengambil flapon maksimal meski amat bisa mengambil batas minimal. Azas efesiensi tidak dipakai atau tidak akan mendapatkan tempat bagi keperluan efesiensi. Dalam konteks ini tidak akan mengambil plafon minimal karena tidak berharaf untuk menghindar dari corrupted mind.
Selanjutnya, bertumbuhnya bagi penggunaan kewenangan dalam hal evaluasi maupun pengawasan bentuknya dapat dilihat dari relasi personal antar pelaku dalam melaksanan tugasnya. Sangat sengaja menempatkan sumberdaya untuk tugas pengawasan. Soalnya cukup dipahami akan memberi bentuk tidak efektif karena faktor psikologis yang tidak mungkin menjalankan tugas seideal-idealnya. Menempatkan fungsinya tanpa mempertimbangkan sisi psikis –misalnya dijalankan oleh rekannya sebagai pengawas dan yang diawasi juga adalah bagian dari clan, sahabat, atau komunitas yang sama, bahkan atau untuk toleransi tertentu terdapat pelaku dalam pertalian darah.
Patologi corrupted mind ini, setidaknya dapat dikaitkan dengan pandangan ekonom DR. Rizal Ramli tentang bentuk penyimpangan berselubung dan tak kasat mata. Ia melihat tiga level dari bentuk sebagai tindakan penyimpangan dalam mengelola birokrasi. Yaitu pertama penggunaan moral dalam suatu kebijakan (policy), yakni bila kebijakan itu bertentangan dengan standar akal sehat. Penggunaan ukuran akal sehat menjadi basis utama dalam menilai potensi itu.
Kedua, adalah moralitas pada pelaksanaannya yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kebijakan. Prinisip-prinsip kebijakan yang mendasarkan pada aspek keadilan maupun prinsip umum, aspek moralitas ini perlu tercipta dalam pelaksanaannya. Dan yang ketiga, penyimpangan pada level karena faktor atau alasan terjadinya ‘kecelakan’ (street criminal). Penyimpangan karena alasan bencana atau peristiwa yang secara alamiah terjadi tetapi terkandung niat dalam street criminal.
Melihat hal-hal tersebut di atas dengan mengaitkannya dengan konteks Sulawesi Barat sebagai suatu wilayah pemerintahan yang di dalamnya berjalan perangkat-perangkat birokrasi, tentu secara potensial atau secara alamiah belum atau bole jadi belum sepenuhnya bebas dari corrupted mind. Dengan melihat muara dari bentuk-bentuk penyimpangan itu dapat dihitung dari deretan kasus yang terungkap. Baik pidana perdata maupun kasus pidana umum, pidana khusus (korupsi) yang bersumberkan pada faktor birokrasi.
Visi pemerintahan daerah melalui misi Gubernur Sulawesi Barat yang menghendaki wilayah yang berjuluk mala’bi’ ini, suatu hari akan memasuki zona zero korupsi, setidaknya sebagai bentuk penghayatan terhadap betapa corrupted mind sebagai hulu dari bentuk penyimpangan yang bersifat laten adalah hal yang perlu dikelola. Strategi festival anggaran yang pernah dijadikan kampanye saat menuju pemilihan Gubernur 2017 silam, seperlunya akan lebih terasa dan terukur sebagai program yang baik dan dapat diterjemahkan ke dalam rencana strategis daerah sebagaimana isi perencanaan di bidang dan di sektor-sektor lainnya.
Festival anggaran sebagai strategi untuk melahirkan anggaran yang terbuka dan dapat dikases secara luas pun merupakan langkah yang sangat baik untuk menterjemahkan kemana anggaran dibelanjakan dan dari mana anggaran tersebut berasal. Memberi wadah masyarakat untuk mengetahui seluk beluk anggaran pada akhirnya akan membantu masyarakat sebagai partisipan untuk memanfaatkan akses informasi yang ada. Dengan akses ini akan memiliki kekuatan dalam membantu memberikan pengawasan partisipatif terhadap kemungkinan penyimpangan dalam mengelola keuangan daerah. Dan kerangka strategis untuk membebaskan birokrasi dari praktek korup ini selebihnya akan dimulai dari usaha menghilangkan corrupted mind.
Apapun dengan menggunakan istilah atau issu corrupted mind ini sebagai hal penting untuk dihindari serta merupakan pertimbangan moral untuk menuju kepada kondisi birokrasi maupun pemerintahan yang lebih menjamin lahirnya kepemerintahan yang bersih.
Pemerintahan yang bertanggungjawab dalam mengelola kepentingan besar bagi masyarakat Sulbar demi menuju kepada kesejahteraan, keadilan, kemakmuran. Jaminanannya untuk menuju kesana (salah satunya) adalah soal ini, hingga gugatannya adalah apakah daerah ini masih dengan atau tanpa corrupted mind. Wallahu a’lam.