TAFSIR ITU BUKAN AL-QUR’AN
Oleh : Muhsin Mahfudz
(Dosen Tafsir UIN Alauddin Makassar dan
Pembina Pondok Pesantren DDI Al–Ihsan Kanang, Polman)
Tafsir merupakan kata yang umum digunakan dalam bahasa Indonesia. Kata Tafsir tidak hanya digunakan dalam lingkup kitab suci al-Qur’an, tetapi juga dalam lingkup kitab suci agama lain.
Umumnya masyarakat mengidentikkan kata tafsir dengan tafsir al-Qur’an karena di samping faktor demografi Indonesia yang mayoritas muslim, juga karena asal katanya berasal dari Bahasa Arab yang merupakan bahasa al-Qur’an.
Maka untuk membedakan tafsir al-Qur’an dengan tafsir kitab suci agama lain, maka penyebutan kata tafsir dalam bentuk iḍāfī (identik) dengan al-Qur’an lebih banyak digunakan dalam termin sosiologisnya.
Kata tafsir terdiri dari huruf fa – sa – ra (fasara-yafsuru-fasran) yang secara genuin bermakna pokok “menjelaskan dan menerangkan sesuatu” (bayān syai’ wa īḍāḥuh), (Ibnu Zakariya: IV, 504).
Secara morfologis, kata al-tafsīr merupakan kata kerja yang telah dibendakan (maṣdar) yang berasal dari kata kerja fassara – yufassiru – tafsīran. Secara leksikal, fassara memiliki beberapa makna, yaitu waḍḍaḥa (menjelaskan), kasyf al-mugaṭṭā (membuka sesuatu yang tertutup), naẓr al-ṭabīb ilā al-mā’ (penerawangan tabib ke dalam air), dan kasyf al-murādi ‘an al-lafẓ al-musykil (mengungkapkan maksud dari kata yang sulit), (Mustafa: II, 695).
Al-Aṣfahanī juga membuka peluang asal kata tafsir dari tiga huruf yang berbeda, yaitu sa – fa – ra (safara-yasfuru-safran) yang juga berarti menyingkap, sebagaimana dalam ungkapan safarat al-mar’ah (perempuan itu menyingkap penutup wajahnya) dan asfara al-ṣubḥ (subuh telah menjadi terang). Perbedaan makna keduanya, lanjutnya, adalah fasara berarti menyingkap sesuatu yang abstrak, sementara safara menyingkap sesuatu yang konkrit, (al-Asfahani, 260).
Analisis etimologi di atas menunjukkan bahwa kata fassara mengandung makna aktif, yakni suatu kegiatan aktif dalam menyingkap makna dibalik kesamaran suatu terma atau frase. Makna itu lahir karena kata fassara yang mengambil pola fa‘‘ala (فعَّل) mengandung makna ‘kontinuitas’ atau aktivitas yang dilakukan berulang-ulang dan terus-menerus hingga obyek aktivitas tersingkap dan menjadi jelas, (al-Zarkasyi: II, 163).
Mendefinisikan Tafsir, baik dalam makna aktif (maṣdar) maupun dalam makna obyek (maf‘ūl), masih belum disepakati oleh ulama tafsir hingga hari ini, terutama dalam memahami antara Ilmu Tafsir dan Ilmu al-Qur’an. Menurut al-Żahabī (w.1397H./1977M.), ulama terbagi ke dalam dua pendapat tentang definisi Ilmu Tafsir. Sebagian ulama berpendapat bahwa tafsir tidak memerlukan definisi karena tidak memiliki kaedah-kaedah keilmiahan sebagaimana ilmu-ilmu rasional lainnya.
Sudah memadai jika ditakan bahwa tafsir itu adalah ilmu-ilmu yang diperlukan untuk memahami al-Qur’an. Sebagian ulama lain berpendapat bahwa tafsir tetap memerlukan definisi. Jika mengikuti pendapat yang terakhir ini maka akan dijumpai banyak definisi tentang tafsir al-Qur’an, (al-Zahabi: I, 12).
Di antara definisi yang banyak diikuti oleh ulama tafsir adalah definisi al-Zarqānī (w.1710 M) bahwa tafsir adalah ilmu yang di dalamnya membahas tentang al-Qur’an al-Karim dari aspek dilālah (indikator) berdasarkan maksud Allah SWT.
sesuai dengan kemampuan manusia, (al-Zarqani: II, 3). Sedangkan menurut al-Zarkasyī (745-794 H.), Tafsir adalah suatu ilmu yang dengannya diketahui pemahaman tentang al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw., penjelasan maknanya, dan produk hukum-hukum dan hikmah-hikmahnya, (al-Zarkasyi: I, 33). Menurut Abu Hayyan (w.744 H), sebagaimana yang dikutip oleh Imam al-Suyūṭī (849-911 H.), Tafsir adalah suatu ilmu yang di dalamnya dibahas tentang tata cara pengucapan lafaz-lafaz al-Qur’an, indikasi-indikasi dan hukum-hukum yang dikandung lafaz tersebut, baik teks tunggal maupun frase, serta makna-makna yang sesuai dengan kandungan lafaz dan komplementernya, (al-Suyuthi: II, 1191).
Definisi yang lebih singkat dikemukakan oleh M. Quraish Shihab yang berpendapat bahwa tafsir al-Qur’an adalah penjelasan tentang maksud firman-firman Allah sesuai kemampuan manusia, (Shihab: I, xix).
Ketiga definisi di atas memprlihatkan orientasi yang berbeda. Imam al-Zarqanī berorientasi pada tafsir sebagai ilmu pembenaran (al-taṣdīqāt) terhadap al-Qur’an, sementara al-Zarkasyī berorientasi pada tafsir sebagai ilmu alat di dalam aktivitas memahami al-Qur’an.
Adapun Abū Ḥayyān cenderung menyamakan Ilmu Tafsir dengan Ilmu al-Qur’an dengan berorientasi pada Ilmu Qira’ah, Linguitsik, Morfologi dan Sastra.
Dengan demikian, definisi di atas mengandung beberapa unsur penting.
Pertama, tafsir sebagai produk pengetahuan yang mengandung petunjuk Allah SWT. dan berfungsi sebagai pembenaran terhadap eksistensi al-Qur’an. Kedua, tafsir sebagai aktivitas ilmiah dengan menggunakan seluruh perangkat ilmu al-Qur’an yang brtujuan untuk memahami al-Qur’an sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah SWT. Ketiga, tafsir sebagai ilmu al-Qur’an itu sendiri, di mana tafsir sama dengan posisi ilmu al-Qur’an lainnya. Pengertian terakhir ini tidak membedakan antara Ilmu Tafsir dengan Ilmu al-Qur’an.
Pendapat penulis cenderung sependapat dengan unsur kedua, yakni tafsir adalah suatu kegiatan ilmiah untuk memahami al-Qur’an melalui ilmu-ilmu alat, baik ilmu yang terkait dengan internal maupun eksternal al-Qur’an. Sedangkan tafsir sebagai karya ilmiah, penulis cenderung kepada unsur pertama, yakni tafsir sebagai karya ilmiah yang berisi penjelasan yang mendekati maksud Allah sesuai dengan kemampuan manusia.
Unsur-unsur yang terkandung di dalam definisi di atas menunjukkan bahwa Tafsir al-Qur’an bukan al-Qur’an itu sendiri. Tafsir adalah upaya memahami al-Qur’an, sedangkan al-Qur’an adalah obyek pemehaman dengan menggunakan perangkat metodologis yang otoritatif di kalangan ulama tafsir. Karena itu, tafsir al-Qur’an adalah salah satu aspek pemikiran dalam Islam. Sebagai pemikiran, tafsir al-Qur’an dapat dipengaruhi oleh genealogi pemikiran mufassir dan kondisi di mana mufassir melakukan aktivitas penafsiran.
Sebagai contoh, ketika mufassir klasik seperti al-Thabari (w.923 M) dan al-Razi (w.1209 M) berpandangan tentang agama Nabi Ibrahim, al-hanafiah dalam QS. Ali ‘Imran/3: 67, keduanya memaknai sebagai agama Muhammad (Islam), bukan Yahudi dan Nasrani, (al-Thabari: III, 304 dan al-Razi: II, 73). Sementara, Fazlur Rahman (w.1988 M) beranggapan bahwa al-hanafiah bermakna monoteisme (tauhid), bukan merujuk kepada nama agama tertentu, (Rahman: 1994, 164). Mengapa al-Thabari dan al-Razi lebih tekstual di dalam memahami ayat dan Fazlur Rahman lebih kontekstual? karena sangat dipengaruhi oleh genealogi penafsiran, baik sumber tafsir maupun tuntutan kondisional.
Dengan demikian, perbedaan penafsiran dari waktu ke waktu adalah sunnatullah yang harusnya diterima sebagai perkembangan pemikiran di bidang tafsir al-Qur’an, bukan perbedaan teks al-Qur’an itu sendiri. wallahu a’lam bi al-shawab.|*